Manhajul Alawiyyin

Al Imam Al-Qutub Al Habib Abdullah bin Alawi Al Atthas

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Hanya kepada-Nya kami memohon pertolongan atas segala urusan dunia dan agama. Kesudahan yang baik hanyalah bagi orang-orang yang bertakwa. Dan tidak ada permusuhan kecuali atas orang-orang yang berbuat zalim. Shalawat dan salam yang sempurna dan menyeluruh semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, pemuka keturunan Adnan, dan juga semoga terlimpahkan kepada para keluarga dan sahabat-sahabat beliau yang arif.
Amma ba'du. Sesungguhnya mengetahui thariqah para salaf adalah termasuk keharusan yang sangat. Dan menyimpang kepada selainnya dari jalan-jalan lain yang beraneka ragam perpecahannya adalah merupakan suatu kebinasaan dan kerugian. Oleh karena itu aku disini ingin menghiasi kitab Sabiil Al-Muhtadiin fi Dzikr Ad-iyah Ashaab Al-Yamiin1 dengan kitabku yang berjudul Al-Ilm An-Nibroos fi At-Tanbiih Alaa Manhaj Al-Akyaas dengan tujuan agar seorang yang bodoh sepertiku ini dapat mengetahui thariqah para salaf dan apa-apa yang para saadah yang mulia berjalan diatasnya, khususnya para saadahku Al-Alawiyyin yang tercinta dan cendekia. Maka aku menjadikan kalimatku ini sebagai kalimat pembuka bagi kitab ini. Semoga Allah memberikan taufik menuju kebenaran. Dan sekarang inilah saatnya memulai dalam menggapai tujuan.
Allah Ta'ala berfirman :
"Dan sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) benar-benar menunjukkan kepada jalan yang lurus, jalan menuju Allah yang bagi-Nya segala apa-apa yang ada di langit dan di bumi. Ketahuilah, hanya kepada Allah-lah kembalinya segala urusan."
Itulah Beliau SAW, pembawa petunjuk dengan cahaya Allah Ta'ala kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-Nya. Untuk siapa saja yang berjalan lebih dahulu diatasnya, maka inayah Allah baginya menuju jalan yang lurus. Itulah jalan yang ditunjukkan oleh suatu ayat :
"Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (lain) karena dapat memisahkan kalian dari jalan (lurus) itu."
Itulah jalan yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur'an yang berbunyi :

"Tidak menyentuhnya suatu kebatilan, baik dari hadapannya maupun dari belakang, diturunkan dari Yang Maha Bijak lagi Maha Terpuji."
Itulah jalan yang diperjelas dalam perkataan, perbuatan dan ketetapan-ketetapan beliau SAW, yang dapat diambil sebagai contoh daripada keadaan-keadaan beliau SAW di dalam perjalanan dan akhlaknya, dan juga daripada para tokoh sahabat dan keluarga beliau, serta para salafus sholeh yang mengikuti mereka dan begitu juga orang-orang yang mengikuti mereka.
Sungguh telah menjelaskan semua itu dua orang imam, yaitu Al-Imam Abu Thalib Al-Makky di dalam kitabnya Al-Quut, dan Al-Imam Abul Qasim Al-Qusyairy di dalam kitabnya Ar-Risaalah3. Dan begitu juga dengan orang-orang yang berjalan mengikuti kedua imam tersebut. Kemudian datanglah Al-Imam Al-Ghazali memerincinya, membaguskannya, menuliskannya, mengklasifikasikannya, menguatkannya dan menjadikannya lebih baik. Inilah jalan yang ditempuh oleh saadah Bani Alawi yang berasal dari Hadramaut dan bernasabkan ke sayyidina Husain (cucu Nabi SAW). Demikianlah mereka menerimanya dari generasi demi generasi, dari ayah ke ayah, dan mereka mewarisinya dari semenjak Al-Imam Husain, kemudian Al-Imam Ali Zainal Abidin, kemudian Al-Imam Muhammad Al-Bagir, kemudian Al-Imam Ja'far Ash-Shadiq, dan begitulah seterusnya diterima bergenerasi dari pemuka para imam sampai sekarang ini. Dengan demikian dapat diketahui bahwa jalan para Saadah Bani Alawy tiada lain adalah Al-Kitab dan As-Sunnah. Derajat mereka bertingkat-tingkat di sisi Allah dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui dengan apa-apa yang mereka lakukan.
Berkatalah Al-Imam Syaikhul Islam Abdullah bin Ahmad Basaudan di dalam kitabnya Al-Futuuhaat Al-'Arsyiyyah :
"Sesungguhnya para saadatunal Al-Alawiyyin (semoga Allah memberikan kemanfaatan kepada kita berkat mereka dan asrar4 mereka), kebanyakan dan sebagian besar dari mereka tidak memberikan perhatian, tidak bergiat diri, dan tidak bersungguh-sungguh, kecuali setelah menguatkan ilmu-ilmu muamalat5 secara keilmuan, amal dan perasaan." [Diambil dari kitab Al-Ilm An-Nibroos, karya Al-Habib Abdullah bin Alawy Al-Atthas]


  1. Kitab Sabiil Al-Muhtadiin fi Dzikr Ad-iyah Ashaab Al-Yamiin adalah merupakan kitab yang disusun oleh beliau sendiri yang didalamnya banyak berisi dzikir, wirid dan shalawat, yang berasal dari para auliyaillah. Kitab ini sangat terkenal di kalangan salaf kita dan merupakan pedoman untuk dipakai sebagai amalan dzikir, wirid dan shalawat. Berkata Asy-Syeikh Muhsin bin Nashir bin Sholeh terhadap kitab ini, "Majmu' ini andaikata dijual/ditukar dengan emas berlian, pastilah si pembelinyalah yang akan beruntung dengan mendapatkan cahaya dan keselamatan pada hari kiamat." 
  2. Saadah : pemuka, orang-orang mulia, tokoh, panutan atau pemimpin dalam suatu kaum. 
  3. Oleh karena itu biasanya kitab Ar-Risaalah karangan Al-Imam Abul Qasim Al-Qusyairy ini terkenal dengan nama Ar-Risaalah Al-Qusyairiyyah. 
  4. Kata asrar bentuk jamak dari kata sirr yang berarti rahasia. Kata ini sering dipakai dalam dunia tasawuf, yang mempunyai makna yaitu rahasia kebaikan dan kemuliaan yang dipunyai oleh seseorang atau sesuatu. 
  5. Ilmu-ilmu muamalat yang dimaksud disini adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Allah dan makhluk-Nya, seperti ilmu tentang bagaimana caranya beribadah kepada Allah, ilmu tentang hukum-hukum Allah, ilmu tentang bagaimana berinteraksi dengan manusia dan sebagainya.
Secara garis besar, sebagian dari perilaku mereka (saadaatuna Al-Alawiyyin) adalah menyibukkan diri dengan ilmu dan menuntutnya, tekun mengkaji kitab-kitab ilmu, bersungguh-sungguh dalam memetik hasil dari ilmu-ilmu itu, dan menjaga cabang-cabangnya dan pokok-pokoknya. Sebagian dari mereka itu tekun senantiasa membaca kitab satu jilid tebal dalam sehari semalam. Sebagian dari mereka menghabiskan membaca kitab Ihya'1 satu jilid setiap harinya.
Sebagian dari mereka mengharuskan dirinya membaca sesuatu, sebagian dengan nadzar. Sebagian dari mereka seringkali melakukan perjalanan ke tempat-tempat jauh untuk menuntut ilmu. Sebagian besar dari perhatian mereka (tentang ilmu) adalah ilmu-ilmu yang mempelajari tentang Al-Qur'an, As-Sunnah dan tasawuf, khususnya kitab At-Tanbih, Al-Muhadzdzab, kitab-kitab karangan Al-Imam Al-Ghazali dan karangan Al-Imam Muhyiddin An-Nawawi, serta karangan orang-orang mendapat keuntungan dengan ilmu-ilmu tersebut.
Sebagian dari mereka, bahkan sebagian besar, berdakwah mengajak manusia menuju jalan kebenaran di setiap kesempatan, setelah menguatkan amalan mereka2. Sebagian dari mereka mengikatkan dirinya untuk berdakwah melalui majlis-majlis dan melakukan perjalanan dakwah keliling meliputi seluruh desa dan kota, disertai dengan budi pekerti yang luhur dan amalan-amalan yang terpuji, serta kesabaran yang tinggi dalam menghadapi masyarakat, baik yang khusus maupun yang awam.
Sebagian orang-orang kaya dari mereka gemar dalam membangun kemakmuran masjid-masjid, semata-mata karena keinginannya yang kuat untuk mendapatkan keutamaan dalam hal itu, sebagaimana yang ada di dalam Hadits. Sehingga sebagian dari mereka banyak mendirikan dan memakmurkan masjid-masjid, dan mewakafkan sisa-sisa hartanya untuk kemakmuran masjid, serta memberikan di masjid-masjid itu penerangan. Sebagian besar dari mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk beriktikaf di dalam masjid.
Benang merah dari semuanya itu adalah bahwa sesungguhnya thariqah mereka (saadaatuna Al-Alawiyyin), semoga Allah meridhoi mereka, adalah membagi waktu-waktu mereka dan mengisinya dengan berbagai macam ibadah, hadir dalam majlis-majlis ilmu, adab, dan membaca wirid dan hizib. Sebagian dari mereka mengumpulkan doa dan dzikir untuk mereka baca secara rutin sehari semalam. Kebanyakan yang sering mereka baca adalah doa-doa Nabawiyyah dan doa-doa yang diwariskan oleh para salafus sholeh. Sebagian dari mereka membaca ratib-ratib pada hari Jum'at dengan lafadz jama' (umum), demi mengharap kemanfataan dan memberi kemanfataan. Sebagian dari mereka mengumpulkan masyarakat luas untuk bertasbih seribu tasbih, bertahlil seribu tahlil, dan menghadiahkan pahalanya buat orang-orang yang telah mendahului mereka. Sedangkan puncak tujuan mereka (dengan hal itu) adalah mengharapkan karunia dari setiap orang (yang telah mendahuluinya itu) yang di dalam diri mereka itu terdapat bekas-bekas kebaikan6.
Kebanyakan dari mereka, bahkan sebagian besar, lebih mengutamakan ber-uzlah7 dan tidak menyukai terkenal dan kemasyhuran. Telah mengisyaratakan dalam masalah ini, seorang yang sangat terkenal dan masyhur, sayyidina Asy-Syeikh Abu Bakar Al-Aidrus, dengan perkataannya, "Duh, andaikata saja kami tidak mengenal seorang pun dan tidak seorang pun mengenal kami, dan kami tidak dilahirkan." Sebagian dari mereka lebih mengutamakan dirinya dengan merendahkan diri dan hidup sederhana, sehingga orang lain yang tidak mengenalnya dan menyangka mereka adalah orang kaya yang tidak butuh bantuan keduniaan sedikit pun dari orang lain. Mereka (saadaatuna Al-Alawiyyin) puas dengan keduniaannya yang sedikit dan perbekalannya yang amat sederhana...tertutup dalam keterasingan...tak tampak keadaannya sampai hampir tak kelihatan.
Telah berkata dalam suatu syairnya, seorang yang sangat mendalam keilmuannya, sayyidina Al-Imam Abdullah bin Alwi Alhaddad, dalam mensifatkan mereka (saadaatuna Al-Alawiyyin) yang mulia,
Yang miskin dari mereka merdeka dan yang berharta berinfaq,
semata-mata mengharap balasan Allah dalam menempuh jalan-jalan yang baik.
Pakaian mereka adalah takwa, dan perangai mereka adalah sikap malu,
sedangkan tujuan mereka di dalam perkataan dan perbuatan
adalah Yang Maha Pengasih.
Perkataan mereka adalah kebenaran,
dan perbuatan-perbuatan mereka adalah suatu petunjuk,
sedangkan rahasia-rahasia amal mereka adalah terbebas dari tipu daya.
Mereka tunduk kepada Tuhan mereka, taat karena ikhlas kepada-Nya,
patuh kepada Yang Maha Suci, yang tiada persamaan bagi-Nya

[Diambil dari kitab Al-Ilm An-Nibroos, karya Al-Habib Abdullah bin Alawy Al-Atthas]


  1. Yang dimaksud kitab Ihya' disitu adalah kitab Ihya' Ulumiddin, karangan Hujjatul Islam Al-Imam Al-Ghazali. Dalam pandangan para aimmah (pemuka) salaf kita, kitab Ihya' menjadi suatu bacaan wajib bagi para Alawiyyin. Berkata salah seorang pemuka dari mereka, Al-Imam Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad As-Saggaf, "Barangsiapa yang tidak pernah membaca kitab Ihya', maka ia tak mempunyai rasa malu." Demikian juga dengan yang dikatakan oleh Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Abu Bakar Al-Aidrus, "Bagus, bagus, bagus, bagus, bagi seseorang yang menjadikan kitab Ihya' sebagai keluarganya, hartanya dan tanah airnya." Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad menambahkan, "Dengan Ihya' Ulumiddin, hati kita dapat menjadi hidup." 
  2. Sudah merupakan prasyarat bagi mereka bahwa mereka harus berdakwah terhadap diri sendiri sebelum mereka berdakwah kepada orang lain. Sehingga dakwah mereka dapat memberi kesan yang mendalam kepada orang lain...suatu dakwah yang jujur dan penuh dengan kejujuran. 
  3. Dakwah merupakan suatu kewajiban yang mereka emban sebagai konsekuensi nikmat nasab yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Sehingga mereka gemar sekali melakukan perbuatan dakwah, baik dengan perbuatan, perkataan ataupun dengan sikap. Berkenaan dengan keagungan tugas dakwah ini, Al-Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz pernah berkata, "Tidak ada suatu perbuatan baik yang dapat meninggikan derajat kedudukan seseorang di sisi Allah secepat perbuatan dakwah." 
  4. Doa-doa Nabawiyyah adalah doa-doa yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW. 
  5. Sebagian di antara ahli sastra Arab mengatakan bahwa lafadz alf (seribu) dalam bahasa arab menunjukkan makna banyaknya sesuatu. Selain itu, dalam sastra Arab, makna banyaknya sesuatu juga seringkali ditunjukkan dengan lafadz sab'uun (tujuh puluh). 
  6. Dalam pandangan mereka, selama seseorang itu min ahli laa ilaaha illallah (muslim), ia mempunyai bekas-bekas kebaikan. Oleh karena itu, sikap husnudz dzon (berbaik sangka) terhadap hamba Allah merupakan sikap dasar yang melandasi thariqah mereka.
  7. Uzlah adalah mengasingkan diri dari berbagai macam tingkah pola manusia, semata-mata karena takut dan kuatir terpengaruh keburukan dari mereka. Namun demikian, mereka melakukan demikian setelah mereka tahu tentang syariah agama, sehingga mereka dapat menempatkan uzlah itu pada suatu tempat yang proporsional.


Berkata Sayyidunal Imam Al-Qutub Ali bin Abubakar di dalam kitabnya yang berjudul Al-Barqah Al-Musyiiqah yang menyebutkan sifat mereka (Saadatunal Alawiyyin) dan mengenalkan atribut mereka :
"Adapun keturunan Al-Imam Ahmad bin Isa, mereka datang ke Hadramaut dan menetap di kota Tarim. Kota Tarim adalah tempat tinggal yang mereka. Mereka adalah para tokoh mulia yang berpekerti luhur, berakhlak tinggi, berperilaku terpuji, berjiwa mulia, bertekad tinggi, dan berketetapan hati. Mereka adalah para tokoh yang secara naluri memang mempunyai sifat rendah hati dan berkepribadian mulia.
Mereka mempunyai rasa cinta yang kuat dan rasa kasih-sayang yang dalam kepada kebaikan dan pelakunya. Dengan itu mereka menghapuskan atribut mereka dan menghilangkan hawa nafsu mereka, dan mereka lebih mengorbankan diri mereka sendiri untuk orang lain, walaupun mereka sendiri sebenarnya membutuhkannya. Secara garis besar, mereka rela meninggalkan hak-hak mereka di dalam banyak hal, menghapus pandangan terhadap diri mereka, dan menegakkan hak-hak orang lain, serta mereka sama sekali tidak mengeluh tentang hal ini dan tidak juga dianggap telah banyak berbuat baik."
Dalam kesempatan lain, beliau juga berkata tentang keluarga Abi Alawy :
"Banyak di antara mereka menjadi para fugaha, ulama dan imam. Di antara mereka terdapat para tokoh yang mulia, seperti para qutub, autad, abdal3, ahli ibadah, auliya dan pemuka agama. Mereka berpaling dari yang selain Allah. Kalbu-kalbu mereka mereka tenggelam dalam rasa cinta kepada Allah. Hingga dikatakan bahwa telah terkumpul di dalam diri mereka kesempurnaan kemuliaan nubuwwah, dan kemuliaan nasab yang terpilih, serta kemuliaan kesucian dan kemurniaan dari segala macam bid'ah dan kejahatan cengkeraman harta. Mereka dengan sempurna mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah, disertai dengan akidah yang lurus. Terkumpul pada diri mereka manfaat-manfaat dan kecenderungan kepada apa-apa yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW dan asrar beliau. Di dalamnya tak luput dari apa-apa yang telah diwariskan oleh Nabiyallah Isa, Nabiyallah Musa, Nabiyallah Ibrahim dan warisan-warisan kenabian."
Mereka (Saadatunal Alawiyyin), semoga Allah meridhoi mereka, bersungguh-sungguh secara sempurna di dalam melaksanakan ibadah-ibadah, disertai dengan meninggalkan adat-istiadat4 dan nafsu syahwat. Bilamana tiba waktu malam, mereka tegak di atas kaki-kaki mereka, menundukkan wajah-wajah mereka diatas tanah, serta berlinangan airmata. Jika salah seorang di antara mereka sudah menginjak dewasa, dilipatlah hamparan tidurnya.
Mereka menjauhi pergaulan dengan masyarakat, kecuali untuk suatu hajat atau darurat. Dan jika terpaksa bergaul dengan mereka, mereka bergaul secara hati-hati agar tidak berselisih dengan mereka. Jika salah seorang di antara mereka (Saadatunal Alawiyyin) sakit dan tidak ada seorang pun yang menjenguknya, maka mereka menganggapnya itu adalah suatu keutamaan. Jika dalam suatu hari mereka tidak bertemu dengan seorang pun, mereka menganggap itu adalah suatu hari raya.
Sebagian dari mereka lebih memilih pergi ke gunung-gunung dan lembah-lembah untuk beribadah disana siang dan malam. Sebagian dari mereka pergi kesana hanya pada waktu malam hari dan pada dini harinya mereka sudah berada di rumahnya, seolah mereka tidur di rumahnya sendiri. Sebagian dari mereka pergi kesana pada siang hari dan kembali ke keluarganya pada malam harinya, tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Dengan kebiasaan itu, mereka tetap menjalankan shalat jum'at dan shalat jama'ah di awal waktunya, kecuali kalau ada udzur syar'i5. Sebagian dari mereka menghabiskan waktu siangnya untuk dengan mengajar dan memberikan petuah-petuah agama. Mereka menghabiskan seluruh waktunya untuk memberikan kemanfataan kepada manusia, waktu demi waktu.

[Diambil dari kitab Al-Ilm An-Nibroos, karya Al-Habib Abdullah bin Alawy Al-Atthas]


  1. Yaitu Al-imam Al-Qutub Ali bin Abubakar As-Sakron bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maulad Dawilah. Beliau dilahirkan pada tahun 818 H. Pada saat kelahirannya, kakeknya, Al-Imam Al-Muqaddam Ats-Tsani Abdurrahman bin Muhammad Assegaf berkata, "Telah datang pada malam ini kepada putraku Abubakar seorang anak yang suci." Beliau, Al-Imam Ali bin Abubakar, adalah seorang wali besar di jamannya. Berkata Asy-Syeikh Ibrahim bin Muhammad Bahurmuz Asy-Syibami, "Kalau seandainya Asy-Syeikh Ali bin Abubakar bukan seorang qutub (pemimpin para wali) pada jamannya, maka tidak akan ada lagi qutub di muka bumi ini." Beliau wafat pada hari minggu, 12 Muharam, tahun 895 H, pada usia 77 tahun.
  2. Yaitu Al-Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir, yang berhijrah dari Irak ke Hadramaut, guna menyelamatkan keluarganya dari cengkeraman fitnah-fitnah yang dilakukan oleh para ahlil bid'ah. 
  3. Qutub, autad dan abdal adalan tingkatan kedudukan para wali Allah. Yang paling tinggi di antara mereka adalah qutbul ghauts (pemimpin para wali). Di setiap jaman terdapat hanya satu qutbul ghauts. Di bawahnya adalah tingkatan qutub. Dibawahnya lagi ada tingkatan autad. Dibawahnya lagi ada tingkatan abdal. Dan demikian seterusnya kedudukan mereka bertingkat-tingkat sesuai mujahadah mereka kepada Allah. Mereka semua biasa kita mengenalnya dengan sebutan para auliyaillah. 
  4. Tentunya adat-istiadat yang dimaksud disana adalah adat-istiadat yang bertentangan dengan syariah. Sedangkan adat-istiadat yang sejalan dengan syariah, maka seharusnyalah tidak ditinggalkan. Hal ini sebagaimana yang telah dikatakan dalam suatu maqalah dan dinukil oleh Habib Abdullah bin Husin Bin Thahir Ba'alawy dalam majmu' (kumpulan) kalamnya, "Tarkul 'aadah 'adaawah (meninggalkan adat itu dapat mendatangkan permusuhan)." 
  5. Udzur syar'i adalah halangan yang diperbolehkan oleh syariah.

Jika mereka (para Saadatunal Alawiyyin) mendapatkan kesulitan (dari permasalahan agama), maka mereka mengikuti pendapat para ulama yang membahas masalah tersebut, lalu mengkajinya, sehingga mereka dapat mendudukkan permasalahan itu pada tempatnya dan menerangkannya. Jika mereka ragu-ragu terhadap permasalahan tersebut, maka mereka mengembalikannya kepada fatwa seorang yang layak memberi fatwa, dan mereka mengakui ketidakmampuannya dengan mengembalikannya kepada kebenaran.
Mereka mempunyai perhatian yang mendalam terhadap kitab-kitab karya Al-Imam Al-Ghazaly, terutama kitab Al-Ihya, Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiiz dan Al-Kholashoh. Mereka juga menaruh perhatian yang mendalam terhadap Hadits, sehingga banyak di antara mereka yang sampai pada derajat Al-Huffadz1.
Ketika orang-orang akhir jaman pada jaman mereka melihat apa-apa yang pernah diperingatkan oleh Rasulullah SAW daripada tanda-tanda yang sudah terjadi pada jaman sebelumnya seperti belajar tanpa mau mengamalkan, mencari pengetahuan hanya untuk kepentingan dunia, banyak orang-orang kikir yang ditaati, banyak mengikuti hawa nafsu, menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, banyaknya perbuatan keji yang dilakukan oleh orang-orang bodoh, dan lain sebagainya yang pernah dikatakan di dalam suatu Hadits, maka mereka meninggalkan perbuatan memberi fatwa, memberikan pengajaran dan mengarang, dan mereka lebih suka menjaga diri mereka (dari fitnah akhir jaman). Mereka menganggap hal itulah yang terpenting. Itulah hakekat yang sebenarnya daripada pengamalan hadits-hadits Nabi dan hal itu lebih utama daripada sekedar meriwayatkan hadits2.
Mereka saling menolak untuk memberi fatwa karena besarnya ketakwaan mereka. Jika mereka ditanya dengan pertanyaan yang banyak, mereka lebih suka dengan menjawabnya dengan secukupnya. Mereka lebih memilih suatu amalan-amalan yang paling berat dan paling utama. Mereka berusaha bersungguh-sungguh untuk keluar dari perselisihan di antara para ulama3.
Mereka sering menyembunyikan ibadah mereka karena takut akan riya. Jika salah seorang di antara mereka berbicara untuk memberikan nasehat atau yang selainnya dan mereka takut terkena riya, mereka lalu membawa pembicaraannya kepada sesuatu yang dapat terhindar dari riya. Jika mereka meneteskan airmata ketika membaca Al-Qur'an, Hadits atau nasehat, maka mereka menutupinya dengan senyuman4.

[Diambil dari kitab Al-Ilm An-Nibroos, karya Al-Habib Abdullah bin Alawy Al-Atthas]



  1. Huffadz adalah julukan bagi orang yang banyak menghafalkan hadits. 
  2. Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad dalam bukunya yang berjudul Ad-Da'wah At-Tammah menulis suatu maqalah yang berbunyi "Lisaanul haal afshoh min lisaanil maqol" ("Lisan pengamalan lebih fasih daripada lisan perkataan"). 
  3. Sikap ini berkenaan dengan perbedaan para ulama dalam masalah agama. 
  4.  Ini biasa sering mereka lakukan bila mereka berada di tengah-tengah majlis. Mereka takut jika airmatanya yang menetes itu terlihat orang lain di majlis tersebut, lalu dalam diri mereka timbul riya. Oleh karena itu, biasanya mereka menutupinya dengan berpura-pura tersenyum atau menahan sebisa mungkin agar airmatanya tak menetes. Radhiyallahu 'anhum ajmain.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar